Jambi, [Gaperta.id] – Rumah Sakit Mitra Kota Baru Jambi kembali melakukan pelanggaran hukum, selain diduga mafia tanah, Rumah Sakit Mitra Kota Baru Jambi juga diduga sebagai mafia pajak.
Dalam kasus pengemplangan pajak ini muncul sebuah nama dr. Herlambang (spesialis kandungan)
Salah satu owner atau pemilik modal dari Rumah Sakit Mitra Kota Baru, diduga mengetahui bahwa Rumah Sakit Mitra Kota Baru Jambi tidak melakukan pembayaran pajak selama 11 tahun ini.
Dari informasi seseorang yang tidak ingin disebutkan nama nya kepada media online www.wartapolri.web.id mengatakan bahwa selama 11 tahun ini rumah sakit mitra tidak pernah membayar pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan memberikan bukti pembayaran PBB tanah yang sudah di bayar oleh Lukman Hasni.
Tepat di area lahan Rumah Sakit Mitra Kota Baru Jambi berdiri saat ini ternya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) nya masih atas nama Lukman Hasny.
Setiap tahun nya Lukman Hasny membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang berlokasi di Jln. Basuki Rahmat Kelurahan Pal. V Kecamatan Kota Baru Jambi sebesar Rp. 6.191.381 dengan luasan area ± 5.000 M².
Sampai dengan tanggal 24 Oktober 2024 Lukman Hasny masih melakukan kewajiban nya sebagai wajib pajak sesuai dengan bukti pembayaran yang telah di bayarkan melalui Bank 9 Jambi.
Pada tahun 2018 Rumah Sakit Mitra Kota Baru Jambi telah di beritakan oleh salah satu media online jambipos.com, bahkan kasus ini pun sudah sampai dimeja Kejaksaan Tinggi Provinsi Jambi, namun besar nya pengaruh yang dimiliki oleh Rumah Sakit Mitra ini seolah olah Rumah Sakit Mitra Kota Baru Jambi kebal terhadap hukum.
PBB merupakan jenis pajak negara yang wajib dibayar oleh pemilik properti, baik berupa tanah atau bangunan. Ketentuan mengenai wajib bayar PBB diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1994.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan kewajiban tahunan bagi setiap pemilik tanah dan bangunan di Indonesia. Ketidakpatuhan dalam membayar PBB tepat waktu dapat menimbulkan berbagai sanksi, baik berupa denda administratif, sanksi sosial, hingga tindakan hukum serius.
1. Denda Keterlambatan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, denda yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran PBB adalah 2% per bulan dari jumlah PBB yang terutang, dengan maksimal keterlambatan selama 24 bulan.
2. Penagihan dengan Surat Teguran
Pemerintah Daerah akan mengeluarkan Surat Teguran kepada wajib pajak sebagai peringatan untuk melunasi tunggakan PBB beserta dendanya jika tunggakan tidak segera dibayarkan.
3. Pemasangan Plang Tunggakan
Dalam beberapa kasus, Pemerintah Daerah bisa memasang plang pemberitahuan tunggakan PBB di depan properti sebagai bentuk penegakan aturan dan pemberitahuan kepada publik.
4. Penyitaan dan Lelang Aset (Langkah Terakhir)
Apabila tunggakan tidak dibayar dalam jangka waktu lama dan tidak ada itikad baik dari wajib pajak, Pemerintah Daerah dapat melakukan tindakan hukum lebih lanjut berupa penyitaan atas objek pajak, dan bahkan melakukan lelang aset melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
5. Larangan Mengurus Dokumen ResResmi
Wajib pajak yang memiliki tunggakan PBB juga dapat dikenakan larangan dalam mengurus dokumen resmi seperti pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Sertifikat Tanah. Hal ini tentu akan sangat mengganggu bagi wajib pajak yang berencana untuk melakukan pengembangan atau perubahan pada properti mereka.
6. Masalah hukum:
Dalam kasus ekstrem, wajib pajak dapat berujung pada masalah hukum jika tidak membayar PBB tepat waktu. Wajib pajak juga dapat dikenakan sanksi hukum dan bahkan tuntutan pidana jika dianggap sengaja menghindari kewajiban pajak. Meskipun hal ini jarang terjadi, tetap penting untuk memahami bahwa kewajiban pajak adalah hal yang serius dan harus dipatuhi.
Risiko Jangka Panjang:
Telat membayar PBB selama bertahun-tahun tidak hanya menambah beban finansial berupa denda, tetapi juga berisiko bagi kamu kehilangan aset. Simulasi berikut menunjukkan bagaimana tunggakan bertahun-tahun dapat berdampak:
Telat 5 tahun:
Rp1.000.000×2%×60=Rp1.200.000
Telat 10 tahun:
Rp1.000.000×2%×120=Rp2.400.000
Telat 20 tahun:
Rp1.000.000×2%×240=Rp4.800.000 .