DUMAI, [Gaperta.id] — Saat ini, dunia begitu cepat berubah dari setiap sisi kehidupan manusia. Baik itu politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan, alam dan lain sebagainya. Tidak sampai disitu, bentang alam pun bersifat dinamis, artinya, bisa berubah mengikuti dinamika kehidupan manusia sebagai penguasa atau otoritas, yang dilengkapi intelejensi atau kecerdasan. Paduan kecerdasan, perkembangan jaman dan teknologi, membuat segala sesuatunya tidak permanen, namun bersifat reguler.
Demikian pula halnya keberadaan suatu lahan atau tanah didalam suatu wilayah. Yang oleh perkembangan jaman dan teknologi, suatu lahan atau wilayah bisa berkamuflase berubah mengikuti waktu. Misalnya, beberapa tahun sebelumnya, di suatu daerah terdapat rimbunan hutan rimba, lengkap dengan ragam flora dan fauna nya. Namun, beberapa waktu kemudian daerah itu bisa jadi pemukiman masyarakat.
Bisa jadi dikawasan tersebut, ada kehidupan, geliat ekonomi, bahkan, tak bisa disangkal, sedikit sebanyak uang yang bersumber dari perputaran ekonomi di kawasan itu tanpa kita sadari mungkin menyumbang PAD bagi Kota Dumai, Riau bahkan nasional. Lebih hebatnya lagi, ada pula warga masyarakat kelahiran dari daerah konsesi itu sudah menjabat di beberapa instansi, baik pemerintah, swasta, BUMN dan BUMD, berprestasi di bidang masing-masing, mungkin olahraga, pendidikan dan lain sebagainya.
RIAU
Adalah satu perusahaan khusus bergerak dibidang eksplorasi minyak dan gas bumi didirikan di Indonesia pada tahun 1924 oleh Hindia Belanda. Singkat cerita, perusahaan bernama N.V. Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij atau NPPM (cikal bakal PT CPI, terakhir jadi PT PHR) itupun mengembangkan perusahaannya di provinsi Riau, yang saat itu masih bagian dari Hindia Belanda. Pengembangan perusahaan dikarenakan disitu ditemukan cadangan minyak dan gas bumi yang cukup besar, khususnya di wilayah Minas dan Duri pada tahun 1944.
Pada tahun 1950, sumur minyak baru pun semakin banyak ditemukan di Duri, Bengkalis, dan Petapahan. Seiring semakin banyaknya sumur minyak yang ditemukan di daerah operasi di Riau, peta daerah operasi/eksplorasi atau kawasan aset pun dibuat. Peta itu disebut Kanggoroo Block, karena bentuknya seperti kangguru.
Kota Dumai (merupakan bagian dari kabupaten Bengkalis saat itu) pun masuk dalam peta tersebut karena merupakan daerah penampung, pelabuhan serta pengapalan Crude Oil. Total luas Kanggoroo Block mencapai ribuan kilometer persegi, tersebar di beberapa kabupaten.
Mengetahui adanya potensi sumber migas yang berlimpah, maka pada tahun 1953, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, guna mendukung iklim bisnis migas tersebut dari segi kejelasan wilayah kerja NV. Caltex Pacific Oil Company (CPOC). Pada peraturan pemerintah ini ditetapkan bahwa penguasaan atas tanah negara dapat diserahkan kepada daerah swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya. Dan selanjutnya, pada tahun 1959, Gubernur Riau saat itu, Mr. S.M. Amin Nasution menerbitkan SK Gub. No. 091/48/59 tanggal 5 Juni 1959, tentang tanah dalam hak NV. Caltex Pacific Oil Company Distrik Duri dalam pemberian izin untuk pembuatan jalan yang membujur dari Pekanbaru ke Dumai. Jalan tersebut membentang sepanjang lebih kurang 180 Km, termasuk jalan-jalan simpangan untuk keperluan perusahaan dan akan tetap menjadi jalan partikelir kepunyaan NV. Caltex Pacific Oil Company dan lebar tanah khusus untuk keperluan jalan tersebut masing-masing 75 m kiri – kanan jalan dari poros jalan, sehingga lebar seluruhnya menjadi 150 m.
Dan beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 17 November 1959, kembali Gubernur menerbitkan SK Gub. No. 216/48/59. Setahun kemudian Gubernur Kaharuddin Nasution menerbitkan Surat Gubernur berturut-turut, nomor 5509/A/3-386 DTH tanggal 5 September 1960 dan SK Gub. No. 171/25/60 tanggal 17 Oktober 1960.
Tak sampai disitu, kembali Gubernur Riau Arifin Ahmad menerbitkan SK Gub. No. 11980/16-1814 tanggal 28 September 1974, menerangkan, bahwa jalan sepanjang Pekanbaru – Dumai : Clearing Limit I ROW BMN masing-masing 100 M dari as jalan kearah Kiri dan Kanan.
Nah, terakhir, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementrian Keuangan RI menerbitkan surat bernomor S-28/KN/KN.4/2021 tanggal 7 Maret 2021, ditandatangani secara elektronik atas nama Direktur Jenderal Kekayaan Negara Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain, Lukman Effendi, tentang Permintaan Kementrian Keuangan kepada Kantor Pertanahan (Kantah) Pekanbaru, Siak, Bengkalis dan Kantah Dumai agar Tidak Menerbitkan Hak di atas Tanah BMN Hulu Migas, selain kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q. Kementerian Keuangan.
SAAT INI:
Namun, oleh karena ragam faktor, sebahagian lahan aset PHR (dulunya hutan rimba, rawa atau tanah kosong) itupun sudah berubah menjadi pemukiman. Tak sedikit diantara masyarakat yang mendiami lahan itu sudah memiliki sertipikat tanah dari Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Dumai. Sebahagian masyarakat yang menguasai lahan itu juga ada yang belum bersertipikat.
Berdasarkan file PDF Peta Areal Konsesi PT. CPI-Dumai yang dipegang Jurnalis, batas kawasan aset PHR (garis imajiner lurus lanjutan dari dalam Kelurahan Bumiayu), adalah 100 Mtr melebar arah ke sebelah Barat dari poros persimpangan empat Jl. Bumiayu — Jl. Raya Bukit Datuk — Jl. Sudirman, memanjang ±2,3 Km (Google Map), hingga batas pagar depan SDN. 013 Jl. Sultan Syarif Kasim. Garis imajiner lurus masih berlanjut ke arah Utara hingga mentok di pesisir pantai.
Untuk sebelah Timurnya, batas garis imajiner lurusnya adalah 100 Mtr melebar ke arah Timur dari poros Jl. Raya Putri Tujuh, sepanjang ±2 Km (Google Map), mulai dari pinggiran Jl. Janur Kuning hingga ke pagar batas kilang Pertamina RU II, samping Jl. Sibayak Jayamukti. Garis imajiner lurus masih berlanjut ke arah Utara hingga ujung Jl. Datuk Laksamana, kemudian berbelok lurus ke arah Timur selanjutnya berbelok lurus lagi ke Timur Laut dan mentok di pesisir pantai.
Nah, lahan yang berada diantara 2 garis batas imajiner tersebut itulah bagian dari aset PT PHR. Didalam lahan itu telah berdiri sejumlah bangunan permanen, seperti ruko, gedung pemerintah, perkantoran, hotel, sekolah, bank, bengkel, restoran dan lain sebagainya.
Dan, sejak terbitnya surat bernomor S-28/KN/KN.4/2021 dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementrian Keuangan, warga masyarakat yang berada didalam kawasan itu yang ingin mengurus sertipikat tanah pun ditolak Kantah Kota Dumai.
Namun fakta lapangan yang dihimpun Jurnalis, ada warga masyarakat yang bukan masuk dalam kawasan Peta Areal Konsesi PT. CPI-Dumai itu, saat ingin mengurus sertipikat ditolak oleh Kantah Kota Dumai. Atau, ada juga tanah masyarakat, yang memang masuk dalam kawasan Peta Areal Konsesi PT. CPI-Dumai itu, sudah memiliki sertipikat tanah. Sementara, warga lainnya, masih di kawasan yang sama, berkas persyaratan yang mereka lengkapi untuk penerbitan sertipikat malah ditolak oleh Kantah Kota Dumai.
“Saat kami ingin mengurus sertipikat tanah di Kantah Dumai, persyaratan kami ditolak mereka. Alasan yang mereka sampaikan ke kami, bahwa garis imajiner batas aset PHR disisi sebelah Barat (garis lanjutan) adalah 100 Mtr di sebelah Barat dari poros simpang empat Jl. Bumiayu — Jl. Raya Bukit Datuk — Jl. Sudirman, ditarik garis imajiner mengikuti panjang jalan Sudirman hingga simpang tiga Jl. Sudirman — Jl. Datuk Laksamana, bahwa lahan didalam kedua garis imajiner batas itu merupakan aset PHR, sehingga Kantah Dumai tidak bisa menerbitkan sertipikat tanah lagi di dalam kawasan itu. Tapi mereka tak bisa menunjukkan peta itu ke kami masyarakat saat kami mempertanyakan gambar peta yang dimaksud mereka”, ungkap beberapa warga Kelurahan Teluk Binjai kepada Jurnalis dengan nada kesal.
Masyarakat kesal dengan sikap Kantah Dumai, karena warga masyarakat lain yang berdiam di dalam kawasan aset PHR itu ada juga yang telah memiliki sertipikat tanah. Lebih kesal lagi, warga masyarakat yang tidak masuk dalam kawasan sesuai file PDF Peta Areal Konsesi PT. CPI-Dumai tersebut juga tak bisa mengurus sertipikat tanah.
Apa yang menjadi dasar Kantah Dumai tidak mau memproses penerbitan seluruh sertipikat tanah di sepanjang Jl. Sudirman, disisi kanan dan kiri? Jelas-jelas kebijakan ini mengakibatkan kerugian dan ketidakpastian bagi masyarakat yang berada di daerah tersebut.
“Kantah Dumai tidak mau terbuka dengan alasan mereka, bahwa Surat Kemenkeu tersebut jelas menyatakan, 100 Mtr sisi kiri dan kanan Jl. Sudirman adalah haknya PT. PHR. Padahal dalam Surat Kemenkeu tersebut tidak jelas dimana daerah yang masuk lahan konsesi. PT PHR pun tidak ada sosialisasi. Kami seperti tak punya tempat yang mau diakui negara”, sambung warga lainnya dengan kesal, menutup pembicaraan.
Dengan adanya polemik ini, yang jadi pertanyaan bersama adalah, apakah masih relevan negara mengambil alih lahan yang telah diberdayakan oleh masyarakat itu selama puluhan tahun? Masih relevankah SK Gubernur No. 091/48/59 tanggal 5 Juni 1959 itu?
Lantas, bagimana tanggapan PT PHR, Kantah Dumai dan pihak-pihak lainnya menyikapi persoalan masyarakat itu, tunggu sambungan artikel berikutnya.