Jambi, [Gaperta.id] – Kriminalisasi terhadap pers kembali menjadi sorotan setelah sejumlah wartawan di berbagai daerah dilaporkan ke polisi menggunakan pasal pencemaran nama baik, fitnah, hingga UU ITE. Praktik ini dianggap mengancam kebebasan pers dan membunuh fungsi media sebagai pilar keempat demokrasi.
Siapa (Who):
Pelaporan pidana banyak dilakukan oleh pejabat, pengusaha, hingga tokoh publik lokal yang merasa terganggu pemberitaan.
Apa (What):
Mereka melaporkan jurnalis dengan pasal-pasal pidana, padahal sengketa pers seharusnya diselesaikan melalui mekanisme etik Dewan Pers.
Dimana (Where):
Kasus terjadi di berbagai daerah, termasuk di Lampung, Jawa Timur, hingga Polda Jambi yang memproses laporan pidana terhadap media menggunakan KUHP dan UU ITE.
Kapan (When):
Tren kriminalisasi ini marak dalam dua tahun terakhir dan terus berlanjut hingga 2025.
Mengapa (Why):
Minimnya literasi pers di kalangan pejabat dan masyarakat membuat hak jawab diabaikan. Banyak pihak memilih jalur hukum pidana sebagai “balas dendam” terhadap pemberitaan.
Bagaimana (How):
Laporan pidana diajukan tanpa melalui mediasi atau klarifikasi di Dewan Pers, bertentangan dengan prinsip lex specialis UU Pers yang ditegaskan Putusan MK No. 6/PUU-V/2007 dan Surat Edaran Kapolri No. SE/2/II/2021.
Ali Monas, jurnalis asal Jambi, menilai kriminalisasi ini menciptakan chilling effect. “Jurnalis jadi takut meliput kasus korupsi, tambang ilegal, atau konflik lahan. Demokrasi lokal bisa mundur jauh ke belakang,” ujarnya.
Desakan Tegas untuk Hentikan Kriminalisasi:
Ali mendesak Dewan Pers, PWI, dan AJI agar lebih proaktif memberikan edukasi literasi pers dan mendesak polisi menolak laporan pidana sebelum ada verifikasi Dewan Pers.
“Kritik itu vitamin demokrasi, bukan racun. Jangan cabik demokrasi dengan pasal pidana. Jangan penjarakan kritik!” tegasnya.