BeritaRegional

Sarasehan Nasional Media Massa: Menjaga Jurnalisme di Era Digital untuk Memperkuat Demokrasi

Avatar photo
47
×

Sarasehan Nasional Media Massa: Menjaga Jurnalisme di Era Digital untuk Memperkuat Demokrasi

Sebarkan artikel ini

KALBAR, [Gaperta.id] – 8 Februari Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2025, Panitia HPN Riau menyelenggarakan Sarasehan Nasional Media Massa dengan tema “Preservasi Jurnalisme Sebagai Pilar Demokrasi Digital”.

Acara ini berlangsung dengan menghadirkan sejumlah tokoh penting di dunia jurnalisme untuk membahas tantangan dan peluang jurnalisme dalam menghadapi disrupsi digital yang semakin pesat.

Sarasehan ini dihadiri oleh pembicara-pembicara terkemuka di dunia pers Indonesia, antara lain Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas TVRI; Nurjaman Mochtar, Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat; Dhimam Abror, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat; dan Hilman Hidayat, Ketua PWI Jawa Barat. Diskusi dipandu oleh Djoko Tetuko, Ketua Dewan Kehormatan PWI Jatim di salah satu hotel di Pekanbaru, Sabtu (8/2).

Selain pembicara hadir pula tokoh pers nasional seperti Tribuana Said, Ilham Bintang, Atal S. Depari, Asro Kamal Rokan, Dar Edi Yoga, Musrifah dan lainnya.

*Agus Sudibyo: Media Digital Menguasai Iklan, Namun Kebutuhan Jurnalisme Berkualitas Tetap Ada*

Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas TVRI dan mantan anggota Dewan Pers, dalam pemaparannya mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai belanja iklan di Indonesia pada 2024 yang diperkirakan mencapai Rp 107,291 triliun, dengan dominasi iklan digital sebesar 44,1%.

“Data belanja iklan Indonesia 2024 total Rp 107.291 triliun dimana iklan digital sebesar 44,1%, media online 17,3%, televisi 15,5%, media sosial 11,6%, retail media network 7,2%, dan media cetak 4,3%,” ujar Agus Sudibyo dalam pemaparannya.

Ia juga mencatat bahwa perusahaan besar seperti Google dan Facebook menguasai 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, sementara media nasional hanya memperoleh sisanya.

“Di tengah fenomena ini, kita perlu mempertanyakan, ke mana arah jurnalisme pers? Sementara saya yakin meskipun tantangannya besar, kebutuhan akan informasi berkualitas dan bertanggung jawab justru semakin besar,” ujar Agus.

Agus melanjutkan dengan membahas konsekuensi dari fenomena ini di mana Google dan Facebook menguasai sekitar 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, semakin menunjukkan bahwa media sosial dan platform digital menjadi kekuatan utama dalam perekonomian iklan di Indonesia, yang secara tidak langsung telah menantang eksistensi media mainstream.

Jangan Lewatkan :  Kejaksaan Negeri Bengkayang Upacara Peringatan Anti Korupsi Sedunia, Amanat Jaksa Agung Hakordia Tahun 2024

Di balik fenomena tersebut, Agus juga menyoroti sebuah hal yang lebih mendalam, yaitu kebutuhan masyarakat terhadap informasi berkualitas dan bertanggung jawab yang semakin besar. Meskipun media sosial terus berkembang dan semakin mendominasi, Agus menegaskan bahwa media sosial tidak dapat sepenuhnya menggantikan fungsi media tradisional dalam menyediakan informasi yang akurat dan terverifikasi.

Agus pun memperingatkan tentang fenomena berita hoaks yang marak di media sosial, yang sering kali memecah belah masyarakat dan merusak integritas demokrasi.

“Tentu, kita tidak perlu terlalu khawatir karena di tengah disrupsi ini, tetap ada kebutuhan yang kuat akan informasi berkualitas dan jurnalisme yang bertanggung jawab. Media sosial tidak bisa sepenuhnya menggantikan kebutuhan masyarakat akan informasi yang mendalam dan berbasis fakta. Secara global, ada kekhawatiran yang sama, yakni media sosial justru semakin memperburuk perpecahan di antara masyarakat, baik dalam hal agama, dan politik,” ujar Agus

Agus juga menyinggung pentingnya model distribusi konten yang adaptif. Ia menegaskan bahwa saat ini sangat tidak masuk akal jika ada media yang tidak menggunakan media sosial sebagai saluran distribusi konten.

Media sosial menjadi platform penting untuk menjangkau audiens yang lebih luas, dan media tradisional harus mampu memanfaatkan media sosial sebagai alat distribusi yang efektif tanpa kehilangan kualitas dan integritas informasi.

Terakhir, Agus menutup komentarnya dengan menyinggung fenomena yang disebutnya sebagai ‘imperialisme digital’ yang menggambarkan dominasi beberapa perusahaan teknologi besar dalam menguasai pasar digital global.

“Digitalisasi adalah fenomena global yang dihadapi semua negara, tetapi surplus dari hasil digitalisasi ini hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan besar, terutama yang berasal dari satu atau dua negara saja,” jelasnya.

Secara keseluruhan, Agus Sudibyo menegaskan bahwa meskipun media tradisional menghadapi tantangan berat di tengah disrupsi digital, jurnalisme yang berbasis pada etika, kualitas, dan tanggung jawab tetap memiliki peran yang tak tergantikan. Oleh karena itu, industri media harus terus beradaptasi dengan perubahan teknologi dan dinamika pasar, tetapi tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat.

Jangan Lewatkan :  Polres Landak Gelar Asistensi Ketahanan Pangan Menuju Penanaman Jagung Serentak

Nurjaman Mochtar: Peran Media Mainstream sebagai Verifikator Konten

Nurjaman Mochtar, Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat, yang juga pernah menjabat Pemimpin Redaksi di beberapa stasiun TV seperti SCTV/Indosiar dan juga salah satu pendiri TV One, membahas peran jurnalis di era kecerdasan buatan (AI).

Menurut Nurjaman, 80% sumber berita konvensional kini berasal dari media sosial, dan semakin banyak instansi yang membuat konten berita sendiri melalui portal dan media sosial mereka.

Ke depan perusahaan atau instansi sumber berita akan membuat konten masing-masing serta menyimpannya di portal dan sosial media masing-masing, sebab dengan AI membuat narasi atau video berita bukan hal yang sulit lagi.

“Peran media mainstream ke depannya jangan-jangan hanya berfokus pada verifikasi konten dan pertanggungjawaban terhadap Dewan Pers,” ujar Nurjaman yang juga pernah Ketua Forum Pemred.

Tantangan ini, menurutnya, menuntut wartawan untuk lebih kritis dan adaptif terhadap perubahan teknologi.

*Dhimam Abror: Digitalisasi dan Aktivisme Berkolaborasi untuk Demokrasi*

Dhimam Abror, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, menekankan pentingnya preservasi jurnalisme sebagai sarana untuk memperkuat demokrasi. Menurut Dhimam, ruang digital saat ini telah menjadi tempat yang sangat strategis untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi, terutama dalam memberikan informasi yang mendorong masyarakat untuk berpikir kritis.

Dhimam juga mengungkapkan bahwa media baru, yang lebih interaktif dan mudah diakses, telah membuka ruang bagi lebih banyak partisipasi masyarakat dalam proses komunikasi dan pemberitaan. Oleh karena itu, media harus tetap mempertahankan independensinya, akuntabilitas, dan keberagaman dalam menyampaikan informasi.

“Ruang digital kini memungkinkan masyarakat untuk berpikir lebih kritis terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, terutama dalam ranah politik. Tetapi, kita harus memastikan kualitas informasi yang beredar tetap terjaga,” ujar Dhimam.

Jangan Lewatkan :  Kapolda Sumut: Tidak Ada Ampun dan Kompromi Bagi Para Pelaku Tindak Kejahatan Geng Motor dan Begal

Menurut Dhimam, media baru yang lebih interaktif membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses demokrasi, tetapi hanya jika media tetap menjaga prinsip independensi dan keberagaman dalam menyampaikan informasi.

Hilman Hidayat: Ancaman Serangan Siber terhadap Media Digital

Hilman Hidayat, Ketua PWI Jawa Barat dan Presiden Direktur Ayo Media Group, menyampaikan kekhawatirannya terkait masa depan jurnalisme di era digital.

Ia menegaskan bahwa dalam kondisi saat ini, banyak media online yang menghadapi serangan siber, dengan serangan dari berbagai pihak yang tidak terpikirkan sebelumnya.

“Tugas kita merawat marwah dari jurnalisme apakah jurnalisme di era digital masih cerah atau makin suram? Tapi jika melihat data yang saya kumpulkan kok makin suram,” jelas Hilman.

Ia menjelaskan berdasarkan pengalamannya sendiri dari 40 ribu konten kreator dan wartawan yang memproduksi 15 ribu berita sebulan. Telah banyak yang mendapat serangan dari hacker.

“Ada hal yang membahayakan kita untuk membangun paham jurnalisme. Paham jurnalisme yakni menyebarkan informasi berdasarkan data dan fakta secara objektif. Sementara dari pengalaman kami ada 12 ribu berita yang dihack oleh pihak-pihak tertentu dalam sebulan, serangan terhadap media online bisa mencapai ratusan mulai dari kepala desa sampai yang berseragam,” ujarnya.

Djoko Tetuko: Memfasilitasi Dialog Antar Narasumber dan Peserta

Acara ini dipandu oleh Djoko Tetuko, Ketua Dewan Kehormatan PWI Jatim, yang berhasil memfasilitasi diskusi yang sangat produktif antara para narasumber dan peserta. Diskusi tersebut menghasilkan berbagai ide dan solusi untuk menjaga agar jurnalisme tetap menjadi pilar demokrasi yang tangguh di tengah era disrupsi digital.

Sebagai penutup, para narasumber sepakat bahwa meskipun tantangan bagi jurnalisme semakin besar, upaya preservasi dan adaptasi dengan teknologi harus dilakukan dengan tetap menjaga prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang berfokus pada etika, akurasi, dan keberagaman.