Talaud, [Gaperta.id] – Selasa (30 September 2025), Desa Awit Selatan, Kecamatan Beo, Kabupaten Talaud, kini dihantui kebisuan yang menyimpan aib. Kepala desanya, Rusli H. Taarelluan, yang seharusnya menjadi pelindung warga, justru diduga menjadi predator. Enam tahun silam, tepatnya 15 Agustus 2019, Rusli diduga melampiaskan nafsu bejatnya kepada Has (nama samaran), seorang warganya yang masih di bawah umur. Kasus ini bukan sekadar insiden pelecehan, melainkan karut-marut kekerabatan dan dugaan kongkalikong aparat yang mengubur keadilan korban selama setengah dekade.
Skenario Sunyi di Balik Jendela Mertua
(Mengungkap detail kronologi, lokasi, dan relasi kekerabatan yang rumit)
Catatan investigasi media ini menunjukkan kejahatan ini terjadi dalam lingkaran kekerabatan yang sangat dekat. Rumah tempat kejadian pertama, di kediaman Rusli, adalah rumah mertua yang sama dengan ibu korban, Hermina Tumade. Artinya, Has adalah keponakan dari istri Rusli.
“Has sedang tidur di kamar, tiba-tiba pelaku (Rusli) masuk,” ujar sumber yang mengetahui detail laporan awal korban kepada Tempo. Rusli kemudian membawa Has ke mobil dan berpindah lokasi ke Desa Sambuara. Di dalam mobil, Rusli diduga melancarkan aksinya disertai ancaman, “Jangan bilang ke istri saya dan ibumu.”
Kesaksian Has sangat mencekam: saat mencabuli, Rusli sempat bertanya apakah ia masih perawan, dan menawarkan imbalan Rp 500.000 jika Has mau menyerahkan keperawanannya. Setelah perbuatan itu, Has diantar pulang dengan imbalan uang senilai Rp 75.000. Angka itu—jauh di bawah tawaran awal—menjadi bukti tawar-menawar yang dilakukan predator terhadap anak di bawah umur.
Surat Damai dan Jejak Kongkalikong Polsek (Membedah upaya ‘damai’ yang penuh intimidasi dan peran aparat)
Ketika Hermina Tumade melapor ke Polsek Beo pada 2019, jalur hukum itu seolah langsung diarahkan ke palagan damai. Dokumen yang diperoleh Tempo menunjukkan bahwa Polsek Beo memfasilitasi pembuatan “surat kesepakatan damai” antara korban dan pelaku.
“Ada dua poin perjanjian sebagai ganti rugi,” kata Hermina.
Namun, kesepakatan itu dituding korban dan ibunya sebagai kamuflase dan akal-akalan intimidasi dari sang kepala desa. “Uang sebagai ganti rugi dan pencabutan laporan itu hanya kamuflase. Kami merasa ditipu,” ujar Hermina.
Dugaan konspirasi penegakan hukum ini mengarah pada Polsek Beo. Media menerima informasi bahwa Kapolsek Beo saat itu diduga turut berkonspirasi dalam “mengubur” kasus pencabulan anak di bawah umur ini. Kesepakatan damai itu menjadi exit strategy sempurna bagi Rusli, yang memanfaatkan pengaruh kekuasaan dan kekerabatannya. Parahnya lagi, uang ganti rugi yang dijanjikan Rusli sebesar Rp 500.000 (atau lebih) tidak diberikan kepada Ibu Korban, melainkan kepada Ayah Tiri korban, yang kebetulan adalah saudara iparnya sendiri.
Enam Tahun Mencari Keadilan di Polres
(Penutup yang fokus pada perjuangan korban dan respons aparat terkini)
Setelah enam tahun hidup dalam trauma dan ketidakadilan, Hermina membawa anaknya kembali mencari keadilan. Pada Mei 2025, ia melayangkan laporan baru ke Polres Talaud dengan nomor STTLP/87/V/2025. Langkah ini menunjukkan kegagalan total dari upaya ‘damai’ yang difasilitasi aparat sebelumnya.
Dihubungi melalui telepon pada 20 September 2025, Rusli H. Taarelluan tetap berkelit. “Ada surat perjanjian damai dan uang yang saya janjikan sudah saya berikan kepada ayah korban,” kilahnya, menegaskan bahwa ia sudah lepas dari jerat hukum karena telah membayar ‘ganti rugi’ kepada Ayah Tiri korban.
Namun, kali ini aparat di level yang lebih tinggi terlihat serius. Kasat Reskrim Polres Talaud, Iptu Glenn C. Damar, memberikan jawaban singkat namun tegas. “Ya terimakasih. Kasus tersebut sudah dalam proses sidik,” jawabnya pada Tempo, mengindikasikan bahwa penyelidikan resmi telah dimulai.
Pengungkapan kasus ini diharapkan tidak berhenti pada Rusli, tetapi juga menelusuri peran oknum aparat Polsek Beo yang diduga melindungi pelaku dengan surat kesepakatan damai yang manipulatif. Kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur tak mengenal kata damai, apalagi jika diselimuti intrik keluarga dan kekuasaan desa.