Manado, [Gaperta.id] – Kamis (9 Oktober 2025), Menuai sorotan tajam, Proyek Rehabilitasi Pemecah Ombak di kawasan strategis Taman Berkat, Kota Manado. Anggaran proyek yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ini membengkak hingga Rp 4,97 miliar—lebih dari dua kali lipat dibanding proyek serupa di lokasi yang sama pada 2022. Namun, kenaikan anggaran fantastis itu justru diiringi dugaan kuat adanya cacat prosedural dan teknis yang berpotensi merugikan negara.
PT Family Teknik Konstruksi selaku kontraktor pelaksana diduga kuat melakukan rekayasa dengan memproduksi sendiri beton pemecah ombak (tetrapod) di lokasi proyek. Pantauan Tempo pada Selasa, 7 Oktober 2025, menemukan cetakan dan tetrapod empat sisi yang dibuat secara manual.
Padahal, standar teknis melalui SNI 8460:2017 mewajibkan semua komponen struktural seperti tetrapod diproduksi oleh penyedia bersertifikat dan melalui uji mutu laboratorium yang ketat. Pembuatan tetrapod “rumahan” ini jelas melanggar Peraturan Menteri PUPR No. 07/PRT/M/2019 yang mensyaratkan material struktural wajib diuji mutu dan diproduksi pihak bersertifikat.

Konsultan Hilang, Anggaran Membengkak:
Kejanggalan ini diperparah dengan dugaan manipulasi biaya di tengah kenaikan anggaran. Sumber Tempo menduga, perencanaan awal proyek mencantumkan biaya pengiriman tinggi dengan asumsi tetrapod dibeli dari pabrik bersertifikat di luar daerah (misalnya Surabaya). Namun, faktanya tetrapod dicor langsung di lokasi.
Aksi ini mengindikasikan adanya “permainan” biaya produksi untuk menekan pengeluaran riil dan meraup keuntungan lebih besar dari dana publik. Jika mutu beton dari tetrapod manual ini tidak sesuai standar, efektifitas pemecah ombak akan berkurang drastis, berisiko gagal konstruksi, dan mengancam umur bangunan.

Ironisnya, konsultan pengawas CV Brysel Jaya Abadi diduga absen total dari lokasi pekerjaan, mengabaikan Peraturan Menteri PUPR No. 09/PRT/M/2019 yang mewajibkan material diverifikasi asal dan mutunya. Ketidakhadiran konsultan pengawas ini disinyalir menjadi pintu masuk bagi kontraktor untuk bertindak semaunya.
Bungkamnya PPK dan Ancaman Pidana
Dugaan penyembunyian proyek semakin kentara. Di lokasi, papan informasi proyek tidak terpasang, sebuah pelanggaran mendasar atas prinsip keterbukaan publik.
Hingga laporan ini disusun, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Bernadus Salendeo, memilih bungkam dan belum memberikan tanggapan meski telah dikonfirmasi. Ketidakterbukaan PPK ini justru memperkuat kecurigaan publik terhadap skandal di balik proyek nyaris Rp 5 miliar ini.
“Kalau ada pelanggaran teknis dan administrasi, kontraktor harus bertanggung jawab sesuai hukum. Jangan sampai proyek infrastruktur dengan indikasi mark up ini terus dibiarkan,” tegas seorang tokoh masyarakat Manado yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Melihat banyaknya jejak pelanggaran prosedur dan teknis, BPK dipastikan akan menjadikan proyek ini temuan prioritas dalam audit keuangan mendatang. Jika terbukti ada rekayasa pengeluaran, konsekuensinya bukan hanya pemutusan kontrak dan pengembalian kerugian negara, melainkan juga ancaman sanksi pidana bagi para pihak yang bersekongkol di balik Tetrapod Siluman ini.