Batam, [Gaperta.id] – Ratusan mahasiswa, pemuda, wartawan, bersama Keluarga Besar Rumpun Melanesia Bersatu (RMB) dan sejumlah organisasi pers menggelar aksi solidaritas di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Selasa (9/9/2025). Kehadiran mereka menjadi bentuk dukungan moril terhadap wartawan Kepri Online, Gordon Silalahi, yang tengah menjalani proses hukum.
Aksi ini berlangsung dengan pengawalan ketat aparat kepolisian. Massa membawa spanduk, poster, dan sebuah keranda sebagai simbol matinya penegakan hukum di Kota Batam bila adanya kriminalisasi terhadap wartawan terus dibiarkan.
Koordinator aksi, Rizki Firmanda, menegaskan bahwa pihaknya menolak segala bentuk kriminalisasi apalagi terhadap seorang wartawan. Ia meminta aparat penegak hukum menjalankan tugas sesuai amanat undang-undang dan sumpah jabatan, tanpa adanya intervensi maupun pesanan dari pihak tertentu.
“Kami percaya pada penegakan hukum di PN Batam ini, tapi jangan ada negosiasi, apalagi pesanan. Sumpah yang telah diucapkan harus dijalankan, bukan malah dikangkangi demi kepentingan segelintir orang,” tegas Rizki di hadapan ratusan solidaritas aksi.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Gerakan Mahasiswa Melayu Kepri Dony Alamasyah ini bukan sekadar perkara pribadi, melainkan sebuah preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, kasus Gordon ini menunjukkan bagaimana sengketa perdata bisa dipaksakan menjadi perkara pidana. Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, terdapat prinsip praejudicieel geschil yang seharusnya menjadi tameng dari praktik kriminalisasi semacam ini.
“Secara hukum, prinsip praejudicieel geschil memiliki dasar yang kuat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia,” ujar Dony.
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1956 secara tegas menyebut bahwa apabila ada perkara pidana yang berkaitan erat dengan suatu perkara perdata yang masih dalam proses, maka penyelesaian perkara perdata harus didahulukan. Prinsip ini juga dipertegas kembali dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1980, yang menegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak boleh serta-merta memproses suatu perkara pidana apabila ada persinggungan dengan sengketa perdata yang belum diselesaikan.
Namun, lanjut Dony, prinsip itu seakan diabaikan dalam perkara Gordon. Jaksa mendakwa Gordon dengan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, padahal fakta perselisihannya jelas-jelas berawal dari hubungan bisnis jasa yang seharusnya masuk ranah perdata terlebih dahulu.
“Logikanya sederhana. Gordon sudah bekerja enam bulan penuh mengurus jaringan pemasangan air di PT ABH hingga akhirnya keluar faktur pembayaran. Setelah faktur terbit, urusan pemasangan jaringan air bukan lagi menjadi domain Gordon, melainkan tanggung jawab PT ABH. Jika terjadi keterlambatan sambungan air, itu jelas bukan kesalahan Gordon. Tapi anehnya, justru dia yang dipidanakan,” jelas Dony
Dony menambahkan, dari total jasa senilai Rp30 juta, Gordon baru menerima pembayaran Rp20 juta. Masih ada sisa Rp10 juta yang belum dibayarkan kepadanya. “Bagaimana mungkin seseorang yang bahkan belum menerima penuh hak kerjanya malah dituduh melakukan penipuan?” ujarnya
Ia juga menyoroti kejanggalan dakwaan penipuan tersebut. Menurutnya, tuduhan itu sama sekali tidak masuk akal. “Kalau benar Gordon menipu, seharusnya sampai hari ini penyambungan air di perusahaan pelapor tidak pernah terpasang. Faktanya, jaringan air itu sudah terpasang. Jadi di mana letak penipuannya? Justru kalau tidak terpasang, barulah pelapor punya alasan kuat untuk melapor ke Polresta Barelang,” tegas Dony.
Ia menduga ada provokasi tertentu yang membuat Gordon dilaporkan dan akhirnya dipaksakan harus masuk ke penjara. “Logikanya jelas pekerjaan selesai, jaringan air sudah terpasang, bahkan hak jasa Gordon belum dibayar penuh. Tapi anehnya, yang dikriminalisasi malah orang yang bekerja. Ini sangat tidak adil,” lanjutnya.
Dony menilai, pembungkaman aspek perdata menjadi pidana dalam kasus ini bisa menimbulkan efek buruk terhadap dunia usaha. “Hari ini Gordon, besok bisa siapa saja. Jika sengketa bisnis bisa dikriminalisasi, iklim investasi di Batam terancam runtuh. Ini bukan hanya soal Gordon, ini soal wibawa hukum,” pungkasnya.
Ia mengingatkan bahwa pengadilan memikul tanggung jawab besar dalam kasus ini. Putusan hakim terhadap Gordon akan menjadi tolok ukur apakah Batam masih bisa menjadi tempat yang ramah bagi dunia usaha dan pencari keadilan, atau justru menjadi ladang ketakutan di mana sengketa biasa bisa berubah jadi jerat pidana.
“Inilah yang sedang dipertaruhkan, bukan hanya nasib Gordon, tapi juga wajah penegakan hukum kita di mata masyarakat,” tandas Gordon
Simbol keranda yang dibawa massa menjadi perhatian publik di area PN Batam. Keranda tersebut dimaksudkan sebagai peringatan bahwa hukum di Batam akan mati bila aparat tidak lagi menjalankan fungsi sesuai konstitusi.
“Keranda ini kami bawa sebagai simbol, jangan sampai penegakan hukum di Batam betul-betul mati,” tambah Rizki.
Massa aksi menutup orasi dengan menyerukan agar hakim di PN Batam benar-benar independen dalam memutus perkara. Mereka berharap majelis hakim berani menegakkan keadilan, bukan sekadar mengikuti tekanan atau kepentingan segelintir dari pihak tertentu. “Kami akan terus mengawal sidang Gordon ini sampai akhir. Jangan sampai ada sejarah buruk, di mana pers dikubur hidup-hidup di Batam,” pungkas Rizki.