Medan, [Gaperta.id] – Pagi itu, langit Medan masih berselimut awan mendung, si sudut kota, Tumpal Manik, Ketua (DPD KOMNAS WI) Deli Serdang sekaligus pimpinan DPW Pewarna Indonesia Sumatera Utara, memegang secangkir kopi hitam. Tatapannya fokus, seolah tengah menimbang kata-kata yang akan keluar.
Bukan tanpa alasan hari-hari belakangan ini, dunia pers di Deli Serdang diguncang kabar yang menguji nalar dan hati nurani.
Tiga wartawan hanya disebut dengan inisial (D, R, dan A), kini bersiap menghadapi sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Tuduhan terhadap mereka berat, “memeras Kepala Sekolah SD Negeri 101928 Rantau Panjang, Kecamatan Pantai Labu, yang berinisial MS”.
Nilainya?
(Satu juta rupiah) .
Namun, di balik angka yang terbilang kecil untuk sebuah perkara pemerasan, tersimpan cerita yang jauh lebih besar, dugaan rekayasa, jebakan, dan pertarungan melawan stigma.
Jejak Menuju Sel:
Menurut cerita yang beredar, ketiga wartawan ini awalnya melakukan peliputan terkait rencana kegiatan perpisahan dan pentas seni di sekolah tersebut. Ada komunikasi, ada kesepakatan, bahkan disebut ada kwitansi. Namun, entah dimana garisnya bergeser, hari itu bukan menjadi berita tentang seni, melainkan berita tentang borgol dan jeruji.
“Kita harus hati-hati menyimpulkan. Kalau memang ada bukti kesepakatan dan itu dibatalkan, lalu tiba-tiba muncul tuduhan pemerasan, ini patut diuji,” kata Tumpal dengan nada berat/kecewa.
Di Balik Prapid:
Bagi Tumpal, praperadilan bukan sekadar prosedur. Ia adalah panggung di mana fakta dan bukti saling beradu, tempat di mana masyarakat menilai, “apakah hukum berdiri tegak atau sekadar menjadi alat…??”.
“Kiranya kebenaran terungkap. Setiap warga negara berhak mengajukan praperadilan, apalagi jika ada dugaan rekayasa,” ujarnya.
Ia menyebut lima kunci untuk menguji kasus ini, kekuatan bukti, pemenuhan unsur pidana, kepatuhan prosedur, peran hakim, dan ruang lingkup praperadilan itu sendiri.
Dan di setiap poin itu, kata Tumpal, selalu ada kemungkinan bahwa yang terlihat di permukaan hanyalah separuh dari kenyataan.
Menanti Rabu Pagi:
Sidang perdana dijadwalkan pada Rabu, 13 Agustus 2025, pukul 10.00Wib, di Ruang 1 PN Lubuk Pakam. Kuasa hukum mereka, Dr. Ismayani, telah mendaftarkan perkara ini dengan nomor 12/Pid.Pra/2025/PN/LBP.
Diluar gedung pengadilan nanti, mungkin tak akan ada spanduk besar atau orasi. Tapi di hati para wartawan, ini adalah sidang yang akan menentukan apakah nama mereka akan bersih atau tetap terikat pada label “pemeras”.
Tinta dan Etika Bicara:
Di ujung perbincangan, Tumpal kembali mengingatkan sesuatu yang klasik namun tak lekang waktu: Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
“Hati-hati memberitakan sesuatu. Jangan ada pemaksaan, apalagi iming-iming. Bijaklah,” ucapnya, seperti guru yang mengingatkan muridnya untuk tidak lupa pada prinsip dasar.
Kini, bola ada di tangan hakim. Dan bagi banyak orang, sidang ini bukan hanya soal tiga wartawan dan satu kepala sekolah, ini tentang kepercayaan pada hukum, martabat profesi, dan tentang bagaimana tinta bisa menjadi senjata, atau menjadi alasan untuk dipenjara.