SAMOSIR, [Gaperta.id] — Wilmar Eliaser Simandjorang adalah mantan bupati Samosir, Sumatra Utara, yang memilih tinggal di lereng Gunung Pusuk Buhit untuk berkarya dan bersuara ihwal kondisi Danau Toba.
Pria 71 tahun ini khawatir akan kerusakan yang makin parah di kawasan yang lekat dengan identitas orang Batak itu. Kerusakan dari hulu ke hilir itu dia amati dan suarakan lewat tulisan dan tanggulangi dengan menanam beberapa lahan konservasi.
Tahun 2025 jadi tahun terparah di kawasan Danau Toba. Kebakaran hutan masif terjadi dan melahap hampir 16 hektare lahan konservasinya yang dia tanam sejak 10 tahun lalu.
Meski sudah menginjak usia senja, Wilmar tidak akan lelah berkarya. Baginya, menjaga Danau Toba jadi kewajibannya, sebagai warga Batak, dan amal atas ilmu pengetahuan yang dia dapat hingga saat ini.
Wilmar menolak berpaling dari luka tanah kelahirannya. Dia memilih jalan sunyi di lereng Gunung Pusuk Buhit, tempat yang sakral bagi masyarakat Batak, untuk menulis, menanam, dan terus bersuara ihwal kondisi Danau Toba.
Setiap tiga hari sekali, dia menulis tentang penderitaan Danau Toba, tentang langit yang penuh asap, air yang tak lagi layak minum, hingga hutan yang hangus dalam semalam. Salah satunya terbit di Independent Observer, saat dia mendesak pengarusutamaan Geopark.
“Kalau kita tidak memperhatikan ini, maka Danau Toba tinggal kenangan,” katanya kepada pers.
Setelah pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, dia sibuk membagi bibit pohon, mendampingi masyarakat, dan menginisiasi gerakan pemulihan hutan secara swadaya.
“Waktu itu saya tidak menanam sendiri tapi memotivasi warga agar sadar bahwa menanam pohon itu menanam masa depan mereka sendiri,” katanya kepada pers.
Dia mulai gerakan itu dari Kabupaten Samosir, kemudian meluas ke wilayah lain di sekitar Danau Toba. Fokusnya pada kawasan-kawasan rawan longsor dan kritis, terutama di daerah aliran sungai.
Misinya itu dia lakukan sambil menggerakkan komunitas untuk melakukan penanaman berkelanjutan, mengedukasi tentang pentingnya tutupan hutan, hingga menjaga bibit agar bisa tumbuh dan berbuah.
Musim kemarau jadi musuhnya, terutama dua tahun terakhir. Kondisi ini, katanya, memicu kebakaran hutan yang melahap sebagian besar tanaman yang sudah mulai berbuah.
Tidak menyerah, Wilmar terus menyalurkan bibit pohon, berjejaring dengan pembibitan swasta dan lembaga pemerintah, hingga menanam dari kantong pribadinya.
“Kebanyakan pohon saya dapat dari UPT Kementerian Kehutanan atau bantuan pihak swasta. Ada juga yang saya beli sendiri,” katanya.
Pria yang pernah jadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini juga melatih warga untuk membuat peta vegetasi sederhana, mengenali fungsi pohon-pohon hutan, serta mengenalkan agroforestri berbasis komunitas.
Pelibatan masyarakat, katanya, penting karena dia menolak pendekatan konservasi top-down yang kerap meminggirkan masyarakat lokal.
“Saya percaya hutan akan lestari jika masyarakat merasa itu bagian dari hidup mereka.”
Kerja-kerja senyap yang dia mulai sejak 2010 itu pun bergaung ke luar Danau Toba. Dia bahkan memperoleh sejumlah penghargaan dari Pemerintah Sumatra Utara hingga pusat, termasuk dari Menteri Lingkungan Hidup.
Baginya, penghargaan bukanlah tujuan dari apa yang dia kerjakan. Itu sebabnya, dia termasuk salah satu pegiat lingkungan yang pernah mengembalikan penghargaan itu sebagai bentuk protes.
Bersama dua rekannya, dia pernah mengembalikan penghargaan Wana Lestari dan Kalpataru ke Sekretariat Negara. Aksi itu dia lakukan karena merasa pemerintah tidak merespons serius perjuangan mereka menyelamatkan lingkungan kawasan Danau Toba.
“Saya sendiri dapat Wana Lestari tapi Kalpataru itu untuk teman saya. Kami kembalikan, karena waktu itu pemerintah seperti tidak peduli dengan laporan-laporan kami,” katanya.
Penegakan Hukum
Tak hanya soal menanam, Wilmar juga konsisten mendorong penegakan hukum lingkungan. Dia aktif melaporkan praktik penebangan liar dan galian ilegal yang mengancam kelestarian hutan di sekitar Danau Toba. Sebagian kasus sempat masuk proses hingga ke pengadilan meskipun sebagian besar masih menggantung.
Upaya itu membuatnya tidak disukai banyak pihak. Dia bercerita, pernah dapat ancaman, bahkan nyaris kena parang di tengah hutan saat sedang mengamati aktivitas pembalakan liar. Salah satunya karena dia merekam aktivitas truk yang membawa kayu dari kawasan hutan Tele di Toba. Ancamannya bukan hanya menyasar dirinya, tapi juga keluarganya.
“Wah, diancam, termasuklah anak saya. Kami sudah dikejar-kejar hingga ke dalam hutan karena kami mengamati pembawa kayu-kayu besar.”
Pria tiga putra dan satu putri ini tidak kapok. Dia tetap melanjutkan langkahnya, dengan keyakinan alam butuh pembela.
Wilmar bilang, kondisi hutan di sekitar Danau Toba sudah mengkhawatirkan. Wilayah yang seharusnya menjadi penyangga dan daerah tangkapan air justru menyusut, baik karena praktik pembukaan hutan ilegal maupun alih fungsi lahan.
Kini, meski usianya terus bertambah, dia masih menanam, masih bersuara, dan masih setia menjaga kawasan yang dia sebut ‘berkat yang Tuhan amanahkan’.
Dia tidak menunggu panggung, apalagi imbalan. Dia hanya ingin Danau Toba tetap hidup, bukan menjadi genangan air raksasa yang kehilangan jiwa hutannya.
“Kawasan Danau Toba ini sudah merintih. Kalau tidak segera dikonservasi, dihijaukan dan atasi limbah lingkungannya, Danau Toba akan jadi kubangan raksasa.”
Seberapa Rusak Danau Toba?
Aktivitasnya memulihkan Danau Toba yang dia jalankan membuatnya paham betul seberapa rusak danau purba ini. Dia menyebutkan, indeks kualitas lingkungan kawasan Danau Toba hanya mencapai 60 dari 100 sejak 2012. Saat ini pun angkanya di bawah 50.
Pemicunya, kerusakan di hulu yang terjadi secara legal maupun ilegal. Tidak lagi ada yang menanam, justru masif penebangan.
Kondisi itu membuat Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia ini bertahun-tahun seakan ‘menangis di padang sunyi’. Baginya, kerusakan Danau Toba bukan hanya soal lingkungan tapi juga budaya. Saat ini, masyarakat lokal sudah kehilangan banyak nilai luhur tentang keselarasan hidup dengan alam.
Padahal, dulu ada larangan adat tokka, gotong royong, saling menanam pohon, hingga menahan diri tidak merusak kawasan.
“Sekarang semua tinggal cerita.”
Masyarakat saat ini sudah apatis. Dia bilang, ada semacam kemiskinan struktural, di mana warga terbiasa miskin dan tak sadar adanya pemiskinan.
Masyarakat pun terbiasa dengan kerusakan dan tidak sadar bahwa usaha menjauhkan mereka dari kehidupannya.
“Ada juga kemiskinan karakter. Yang penting tanam cepat, panen cepat, pakai pupuk kimia. Lahan dibakar, tanaman ditanam. Padahal itu membunuh tanah.”
Kerusakan Danau Toba, katanya, juga dari kawasan hulu yang berupa hutan dan daerah tangkapan air. Kondisi ini berkontribusi terhadap memburuknya kualitas di hilir.
“Hutannya ditebang, legal dan ilegal. Biodiversitas terbakar. Air hujan jadi tidak tertahan. Run-off turun bawa abu, sampah, pestisida, masuk ke danau,” katanya.
Pemandangan danau yang biru pun kerap menipu, di bawah permukaannya, kualitas air terus memburuk. Masih terang dalam ingatannya saat pulang kampung dulu dan sejawatnya di kampus memintanya bawa air Danau Toba untuk mereka minum.
“Sekarang? Masak nasi pakai air ini saja sudah bau. Sudah tidak bisa lagi.”
Saat musim hujan, run-off dari lahan terbakar dan limbah domestik di hulu akan langsung mengalir ke danau dan memperparah pencemaran. Belum lagi dengan beban dari kerambah jaring apung yang melebihi kapasitas, limbah hotel, bengkel, rumah sakit dan rumah tangga yang langsung mengalir ke danau tanpa pengolahan.
Baginya, tahun 2025 jadi yang paling memprihatinkan. Kebakaran di kawasan danau purba ini terjadi nyaris tanpa jeda sejak bulan Mei. Pengamatannya, lebih dari 80% perbukitan sekitar danau terbakar.
Api menyebar cepat di areal perbukitan kawasan Kabupaten Samosir, Toba, Dairi, Karo, hingga Humbang Hasundutan. Bahkan seorang petani kabarnya meninggal karena terjebak kobaran api di Humbahas.
“Kebakaran ini disengaja tapi tidak pernah ada penindakan. Ini bukan bencana alam, ini makar lingkungan,” katanya.
Kebakaran itu turut melahap tiga lahan konservasi pribadinya yang dia rawat selama 10 tahun. Total, 16 hektare lahannya di Geosite Pusuk Buhit terbakar dalam satu malam.
“Saya tidak tahu lagi bagaimana. Tanah yang saya hijaukan, yang mulai berhasil, hilang begitu saja. Tidak ada pelaku yang ditangkap. Saya lapor ke polisi, tidak ada respons. Saya akhirnya give up.”
Harapan Pemulihan
Meski kecewa, Wilmar tidak menyerah. Dia percaya ada jalan perbaikan. Solusi konservasi yang dia yakini bukan berasal dari pemerintah dan kerap terdengar indah dalam seminar atau rapat pejabat, melainkan penyelamatan datang dari tanah, lumpur, dan interaksi manusia dengan alam secara langsung.
“Yang saya percaya itu konservasi yang dilakukan orang yang turun ke lapangan.”
Langkah awal yang dia anggap paling mendesak ialah penghentian total pembakaran lahan. Praktik ini, meskipun untuk membuka lahan pertanian, menurutnya harus masuk kategori tindak pidana lingkungan. Dia heran nyaris tidak ada penangkapan pelaku pembakaran atau proses yang serius.
“Kalau polisi tidak bisa menangkap pelaku pembakaran, bagaimana mungkin masyarakat akan takut? Mereka justru berpikir membakar itu sah-sah saja.”
Selanjutnya, dia mendorong pemulihan kawasan hulu yang sudah hampir telanjang karena deforestasi. Bukan asal menanam pohon tapi menggunakan agroforestri yang melibatkan masyarakat sebagai subjek utama.
Menurutnya, masyarakat lokal harus terlibat sejak awal, dari perencanaan, penanaman, hingga perawatan dan panen hasil hutan.
“Kalau petani hanya jadi buruh tanam lalu ditinggal, mereka tidak merasa memiliki. Kalau mereka ikut dari awal dan hasilnya untuk mereka juga, maka mereka akan jaga. Itu namanya pemberdayaan.”
Di hilir, dia mengkritik keberadaan kerambah jaring apung. Menurutnya, metode budidaya ini jadi salah satu penyebab utama pencemaran air Danau Toba. Sisa pakan ikan yang tenggelam ke dasar danau menciptakan lapisan lumpur beracun yang membunuh organisme air dan merusak ekosistem.
“Pelet-pelet itu membawa senyawa kimia. Dalam jangka panjang, air kita bukan hanya keruh tapi beracun. Kerambah harus dikendalikan, kalau bisa dihentikan.”
Selain itu, pencemaran juga hadir dari limbah rumah tangga, hotel, bengkel, hingga rumah sakit yang mengalir ke danau. Harusnya, semua pelaku usaha dan instansi wajib memiliki sistem pengelolaan limbah. Tak boleh lagi ada kebiasaan membuang ke danau seolah air danau bisa menerima segalanya.
“Danau ini bukan septic tank. Air ini sakral, bukan tempat sampah. Tapi hari ini, lihat saja, limbah dari mana-mana langsung mengalir ke danau tanpa penyaringan.”
Tidak lupa, lanjutnya, upaya pemulihan melibatkan generasi muda. Langkah ini sering terlupakan. Padahal, pendidikan lingkungan sejak dini bisa menumbuhkan generasi yang cinta dan hormat terhadap alam.
Jika sejak Sekolah Dasar anak-anak ke hutan, memperoleh ajaran memelihara pohon, mengenali burung, air, dan tanah, mereka tidak akan merusaknya di masa depan.
“Tapi kalau sejak kecil diajarkan membakar ilalang, ya begitulah jadinya.”
Mimpi besarnya, menjadikan lahan rusak di kawasan Tele sebagai Kebun Raya Toba. Tempat itu bukan hanya jadi pusat konservasi, tapi juga edukasi dan pariwisata berbasis ilmu pengetahuan.
Untuk mewujudkan ini, dia sudah berkoordinasi dengan BRIN dengan jadikan kawasan itu pusat riset, edukasi, dan wisata konservatif, meski jalannya masih panjang sehingga ketika orang datang ke Toba, bukan hanya selfie di patung, tapi belajar tentang hutan dan air, sehingga kunjungan mereka bisa edukatif.
“Bisa kok kita ubah kehancuran ini jadi harapan. Tapi butuh niat, ilmu, dan cinta.”
Pendiri Pusat Studi Geopark Danau Toba ini mengaku lelah tetapi masih punya tanggung jawab yang belum tuntas. Dia masih ingin terus berkarya menjaga Danau Toba. Hingga ketika waktunya Tuhan panggil pulang, dia bisa menjawab apa saja yang dia kerjakan untuk tanah kelahirannya itu.
“Saya harus jawab nanti ke Tuhan, apa yang saya perbuat untuk tanah kelahiran saya?” seperti dikutip dari mongabay.co.id, Sabtu (20/9/2025) sore, sebagaimana dikutip dari MajalahCEO.co.id tanggal 20 September 2025.














