Labuhanbatu, [Gaperta.id] – PT. Perkebunan Milano Wilmar Group sedang diterpa isu tidak bayar upah lembur diantara pekerjanya, padahal perkebunan ini sangat tersohor karena punya sertifikasi ISPO dan RSPO, apakah karena “sangkin tersohornya bertaraf internasional jadi bisa seenaknya atau semakin leluasa melakukan tindakan diskriminasi dalam pembayaran upah lembur.” Minggu (17/3/2024)
Sepengetahuan saya keberadaan PT. Perkebunan Milano Wilmar Group beroperasi diwilayah Daerah, Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara, di Jl.H Adam Malik No.10, Kelurahan Sirandorung Rantauprapat. “Akan jadi akan semakin miris kehidupan sang pekerja/buruh apa bila Pemerintah Daerah, Provinsi, Pemerintah Pusat malah tidak mampu menindaknya dengan tegas.”
Soalnya sudah ada pada Peraturan Perundang-undangan yang sangat jelas mengatur tentang tahapan pembayaran upah lembur yang ditetapkan dalam ketentuan, “isi Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, selain itu ada juga diatur dalam Pasal 23 ayat (2) terkait makna Deklarasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.”
Dengan jelas menyatakan “Setiap orang tanpa diskriminasi berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama.” Kemudian isi Pasal 38 ayat (3) UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga dengan jelas menyatakan, “Setiap orang baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.”
Kalau isi Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dengan jelas menyatakan bahwa “Upah kerja lembur wajib dibayar oleh pengusaha yang mempekerjakan pekerja buruh melebihi waktu kerja, pada istirahat mingguan atau pada hari libur resmi sebagai kompensasi, kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Perbuatan perusahaan pengusaha nakal yang tidak membayar upah lembur sebenarnya bagian dari tindakan diskriminasi yang sangat dilarang, untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bahkan dunia Internasional kabarnya sangat mengutuk keras tindakan diskriminasi tersebut, sebab merupakan tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Walau’pun UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam perjalananya mengalami beberapa kali perubahan, hingga terakhir menjadi UU No.6 Tahun 2023 akan tetapi perubahan maksud tersebut tidak mengubah esensi pada upah lembur, yang seharusnya dapat dibayar oleh perusahaan tersohor berkelas papan atas kepada Supir atas nama Jhon Beni Ginting masa kerja sekitar 5 (Lima) Tahun. Sebut nara sumber.
Ditempat terpisah salah satu lokasi
Café yang ada di Rantauprapat Jhon Beni Ginting membenarkan terjadinya perlakuan Diskriminasi upah lembur, “kuat dugaan pelaku nya manajemen PT Perkebunan Milano Wilmar Group, saya bekerja sebagai supir sekira lebih kurang 5.Tahun, dan kalau dalam rincian hitungan sementara kerugian saya sekitar Rp 209.983.670-. (dua ratus sembilan juta sembilan ratus delapan puluh tiga ribu enam ratus tujuh puluh rupiah).”
Kalau boleh untuk lebih jujur lagi tentang dugaan perbuatan melawan hukum atau persoalan upah lembur, yang tidak dibayar oleh manajemen perusahaan yang sangat tersohor sampai sekarang ini, sebenarnya sudah pernah saya laporkan secara langsung tertulis kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis K.UPT Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah IV pada tanggal 15 Oktober 2022.
Ada hal yang jadi sangat miris itu karena dalam Proses Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan, “pihak pengawas ketenagakerjaan tidak mau melihat dan memperhatikan data-data yang saya sampaikan sebagai pelapor, sehingga terjadinya suatu dugaan mengabaikan isi ketentuan Pasal 4 ayat (1), UU RI No.20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, ini sangat patut jadi sorotan publik karena jadi seperti dirampok hak upah lembur saya.”
Hal itu terjadi setelah ada K.UPT Pengawas ketenagakerjaan BN Hutagalung, S.H., M.H berikan surat No. 090/242-7/DTK/WIL IV/VIII/ 2023, yang isinya menyatakan bahwa PT Perkebunan Milano Wilmar Group Unit Rantauprapat telah, membayarkan upah lembur dan tidak melakukan tindakan diskriminasi upah. “Kuat dugaan persoalan seperti ini tidak hanya terhadap diri saya, dan boleh jadi pekerja/buruh yang lain juga turut merasakannya.” Sebut Jhon Beni Ginting, S.E
Andi Arisardi Siregar mengatakan “kuat dugaan perusahaan yang punya tersertifikasi RSPO dan ISPO hanya menggunakan sertifikasinya sebagai kedok untuk dapat leluasa melanggengkan bisnisnya, kisah seperti ini sangat layak jika disebut sebuah tindakan perbudakan yang sangat modern, dengan berlindung pada aparat penegak hukum seperti ASN yang di pengawasan ketenagakerjaan.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan perusahaan tentunya akan semakin masif apabila aparat penegak hukum, dalam hal ini pengawas ketenagakerjaan malah melindungi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perusahaan. “Jujur saja terkait penegakan hukum terhadap peraturan perundang-undangan, sebenarnya dapat dilakukan dengan maksimal apabila ASN ini melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.”
Asal sesuai dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan berdasarkan terhadap dugaan Parsel dan Amplop yang berisi uang, kejahatan perusahaan tidak membayar upah lembur seperti ini akan terus berulang-ulang terjadi, bila Peraturan Perundang-undangan tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggaran, soalnya Negara memberikan HGU kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah semestinya dapat memastikan.
Agar usaha yang dilakukan oleh perusahaan tersebut berguna bagi rakyatnya, bukan malah menjadikan rakyatnya budak di negerinya sendiri, dan Negara seharusnya dapat dengan tegas menindak perusahaan yang melakukan pelanggaran, karena setiap nama Perusahaan wajib taat terhadap Hukum tanpa terkecuali, demi tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan bangsa. Sebut Andi
Menyikapi keluhan Jhon Beni Ginting, S.E dan nara sumber lainnya dan untuk keperluan konfirmasi, awak media berulang kali menelepon I Hasibuan Humas PT Perkebunan Milano Wilmar Group belum ada respon, kemudian BN Hutagalung, S.H., M.H sebagai K.UPT Pengawas Ketenagakerjaan sudah berulang kali ditelepon untuk konfirmasi juga belum ada respon.
(Redaksi)